Rabu, 28 Desember 2011

mawar layu untuk bunda

Di ruangan sempit ini aku hidup. Di ruangan pengap ini aku bertahan. Di ruangan gelap remang ini aku tertawa, menangis, dan merenung. Tanpa teman pastinya. Bunda…., sosok Bunda yang ku miliki sama sekali tak sama dengan yang orang lain miliki. Aku tak pernah sekalipun di anggapnya sebagai anak. Walau begitu Bunda tetaplah Bundaku dan aku tetap ingin selalu menjadi anaknya yang sesungguhnya. Tak di anggap anak bukan berarti ia tak merawatku. Setiap pagi dan sore Bunda mengantarkan sepiring nasi dan segelas air putih untukku biarpun tanpa senyum. Akulah yang selalu tersenyum saat melihatnya, walaupun tak berani menatap matanya bahkan menyapanya.

Di kamarku hanya ada sebuah balai dari bambu tempatku berbaring, jendela kaca kotor yang menghadap langsung ke dunia luar yang selalu ingin ku pijak, dan sebuah pintu kayu yang dapat membuatku berada di dunia luar jika aku melewatinya. Melewati pintu itu untuk memijak tanah adalah hal yang sangat mustahil untukku. “Tahukah….?” aku telah 13 tahun terpenjara di tempat ini. Penjara yang Bunda buat untukku tinggal di dalamnya. Terserahlah, aku terima, yang penting aku masih bisa melihat Bundaku setiap hari. Bunda adalah orang yang menurutku tegas dan keras. Menurutku dia tetaplah Bunda yang baik meskipun tak pernah menganggapku ada di kehidupannya. Oleh karenanya aku juga menjadi sosok yang sangat tegar saat bunda menjadikanku pelampiasan emosi, bahkan kemarahannya ketika ia mempunyai masalah dengan siapapun. Yaaaa.. akulah tembok keras yang selalu di hantam martil kemarahan atas kesalahan yang tak pernah ku buat.
Terkadang aku merasa sangat kesepian. Ingin rasanya aku keluar bermain dan berinteraksi dengan orang asing di luar sana dan memasukkan kakiku pada kubangan air yang disebabkan oleh hujan yag tak kunjung henti. Aku sangat ingin membiarkan tuhan memandikan tubuhku yang kurus ini dengan air hujan yang di turunkannya. Namun apalah dayaku..? pintu kamarku selalu saja terkunci dari luar. Hingga akhirnya aku hanya dapat memandang dunia luar dari balik jendela. Dari tempat ini terlihat payung-payung bulat warna-warni melintas di bawah. Ya..kamar pengapku berada di lantai dua. Aku dapat lebih jauh memandang dunia luar dan deretan pegunungan di balik atap pertokoan di muka jendela kamarku. Itu cukup untuk melukiskan sejenak senyuman di wajahku.

“uhukk…uhukk…uhukk…”, aku sakit-sakitan dan terbatuk-batuk.
Mungkin suara batukku terlalu keras hingga membuat Caroline, anak dari Bundaku dan sekaligus adik kandungku dari ayah yang berbeda merasa terganggu dan terdengar marah-marah di luar sana. Usiaku dengan Caroline hanya berbeda 1 tahun. Usiaku 15 tahun dan Caroline lebih muda dariku. Yang berbeda dariku dengannya adalah dia memiliki segalanya yang tak ku miliki dan ingin ku miliki. Bundaku untuknya, ayahnya untuknya, kasih sayang semua untuknya. Menurutku dia adalah anak manja. Dari dalam sini aku bisa mendengarkan rengekan manjanya ketika menginginkan sesuatu. Dan pada akhirnya Caroline selalu mendapatkan apa yang ia mau. Sedangkan aku..? permintaanku hanya satu
“ijinkan aku menginjak tanah dan bernafas di alam bebas Bunda, biarpun sedetik saja…”.
Keinginan itu tak pernah terwujud. Aku selalu merasa iri saat melihat Caroline, Bundaku, dan juga ayahnya pergi bersama menggunakan mobil tua milik ayah caroline. Betapa bahagianya jika aku juga bisa berada di antara mereka. Mungkin Bunda malu memiliki anak sepertiku.
“Anak yang tak jelas dari mana usulnya, anak yang sakit-sakitan, bahkan mungkin anak yang aneh dan bau karena sangat jarang tersentuh air”. Bahkan mungkin, para tetangga tak ada yang menyadari bahwa aku ada dan juga hidup di rumah tua tetangga mereka.

“andai aku tahu siapa dan dimana ayahku, pasti ia akan selalu menjagaku dan membuatku tersenyum setiap saat”, pikirku.
“‘tapi apakah ayahku masih hidup..?
“apakah ayahku akan mengakuiku sebagai anaknya? atau bahkan ia akan menendang dan membuangku…?”
Ingin rasanya aku bertanya pada Bunda, siapa dan di mana ayahku. Tapi aku takut. Aku takut jika Bunda marah dengan pertanyaanku. Aku takut jika bunda akan benar-benar membuangku dan menyingkirkanku dari kehidupannya. Aku takut tak dapat lagi melihat paras cantik bundaku.

“dok..dok..dok..”, terdengar suara seseorang menggedor-gedor pintu dengan kasar.

“wooyy.. bisa diem gak sih…? Ganggu orang idup aja, mati sana lo biar gak ganggu orang idup..”, suara Caroline memaki.
Aku diam mencoba menahan batukku. Kemudian terdengar sepasang kaki berjalan menuruni tangga. Selepas itu terdengar samar Caroline melanjutkan candanya dengan ayahnya yang saat itu sedang libur bekerja. Aku mulai menangis. Sungguh aku merasa sangat iri dengan mereka.

“uhukk..uhukk..”, ku buat selirih mungkin batukku. Sebisa mungkin ku tahan agar tak terbatuk. Aku tak ingin mengganggu kebahagiaan mereka biarpun itu cukup menyakitkanku. Seseorang mencoba membuka pintu kamarku. Suaranya terdengar berisik. Kurasa ia kesulitan saat membuka kunci gembok ruangan pengapku. Dan akhirnya pintupun terbuka. Terlihat sosok Caroline yang nampak cantik lengkap dengan gaun pesta dan perhiasan elok menghiasi leher, tangan, dan juga jemarinya. Tahi lalat di sudut kiri matanya memperanggun tampilannya. Sepertinya ia hendak pergi ke sebuah pesta yang meriah. Tangan kanannya memegang sepiring nasi putih tanpa lauk dan di tangan kirinya memegang segelas air putih. Ia meletakkannya di bawah pintu dengan kasar. Kemudian ia mengambil piring kotorku pagi tadi dan membawanya keluar, tidak lupa mengunci kembali pintu itu. Aku hanya memandangnya hingga ia menghilang,

“kenapa bukan bunda yang mengantarkannya padaku? kemana bunda..?”, tanyaku dalam hati.
Tanpa pikir panjang aku berusaha bangkit dari balai bambuku yang setia menemaniku. Aku berhasil berdiri dan mencoba berjalan tertatih mengambil makananku untuk sore ini. Yaa.. dalam sehari aku hanya mendapat dua kali jatah makan. Kini kakiku mengecil. Kakiku bahkan nyaris lumpuh karena tak sering ku pergunakan. Tak cukup ruang untukku bergerak. Bahkan aku selalu membuang kotoranku di sebuah tempat kecil yang ayah Caroline buat di sudut kamarku. Tak ada air disana. Yang ada hanyalah kertas Koran bekas untukku. Miris memang. Mereka tak memperlakukanku sebagai manusia. Bahkan kucing Persia manja piaraan Caroline lebih hidup enak jika di bandingkan denganku. Intinya, aku tetap terima atas semua perlakuan mereka padaku.


Hari-hariku berlalu seperti biasa. Hanya diam dan terdiam di ruangan kecilku dan di ramaikan dengan batuk yang terus menyiksaku. Hingga pada suatu hari terasa tak seperti biasa. Pagi ini Bunda bertengkar dengan Ayah Caroline di lantai bawah. Suaranya terdengar menggelegar hingga terdengar sampai kamaku yang tertutup rapat ini. Bunda terdengar sangat marah. Tak kalah, Ayah caroline terus-terusan membentak bunda dengan kasar.

“kamu ini jadi laki-laki, mana tanggung jawabmu? kerja buat anak istri aja gak becus, Pakai rok sekalian….!!! masa kerja seperti itu aja gak beres sampai di pecat?”, bunda terdengar mencela Ayah Caroline.

“heh!! Maksud kamu apa..? mikir dong siapa yang sudah ngasih makan kamu selama 15 tahun? haah? gak ada aku pasti kamu sudah jadi pelacur yang menjajakan diri di terminal sana, ngaca dong jadi perempuan!!”, Ayah caroline membalas dengan memojokkan Bunda. Bundapun terdiam tak membalas. Sepertinya mereka menyudahi pertengkaran mereka pagi ini. Namun tak lama, bunda berteriak histeris, disusul dengan teriakan Caroline yang tak kalah histeris.

“ayah..ayah..”, mereka memanggil-manggil Ayah. Mereke terdengar terisak. Apa yang terjadi pada mereka?
“Apa yang terjadi pada Ayah?” aku ingin keluar dari sini dan melihat apa yang terjadi.
Namun kurasa itu sangat mustahil. Percuma bila aku berusaha menggedor-gedor pintu untuk di ijinkan keluar. Siapapun tak akan peduli. Aku hanya bisa tertunduk dan diam. Menangis? aku sudah terlalu sering melakukan hal itu di sini. Yaaa.. di tempat ini!! Aku sadar, tangis tak akan merubah apapun. Per-cu-ma..!!. Suara tangis mereka mulai menjauh. Dari atas terlihat mobil keluar dari garasi dan tancap gas entah kemana. Suasana berubah menjadi sangat sepi. Sepertinya hanya aku saja yang tersisa di rumah ini. Lagi-lagi mereka meninggalkanku seorang diri.

“sudah biasa..!!”,pikirku. Aku masih berpikir tentang apa yang terjadi pada Ayah hingga membuat Bunda dan Caroline histeris.
“semoga tak terjadi hal buruk apapun pada mereka. Biar bagaimanapun aku tetap menyayangi mereka. Mereka adalah bagian dari hidupku meskipun mereka tak menganggapnya”, gumamku lirih.

Telah cukup lama aku tak mendengar tanda-tanda Ayah, Bunda, dan juga caroline pulang. Hingga akhirnya sang mentari kembali ke peraduannya dan malampun menjelang. Mereka masih tak kunjung kembali hingga akhirnya aku terlelap berselimut hawa dingin dan mimpi tentang Bunda dan ayah yang menyayangiku. Aku sangat sering memimpikan sosok orang tua sesungguhnya yang utuh, harmonis dan selalu menyayangiku. Saat aku terbangun, matahari telah meninggi. Mungkin sekitar jam 9 atau 10 pagi. Suasana masih sama. Sepi.. tanpa rengekan manja yang keluar dari mulut Caroline. Mereka belum juga pulang. Akupun masih berpikir dan menduga-duga apa yang sebenarnya terjadi..? mungkinkah mereka pergi dan meninggalkanku sendiri disini hingga mati perlahan oleh penyakit ini dan juga kelaparan…? Hingga akhirnya sorepun menjelang. Terdengar suara mobil mendekat. Saat ku lihat, mobil itu masuk ke pekarangan rumahku. Mobil berwarna putih itu datang diikuti beberapa warga sekitar. Tak lama kemudian, mobil hijau tua milik Ayah Caroline pun datang. Bunda turun dari mobil. Ia terlihat memeluk Caroline yang sedang menangis tersedu. Aku hanya bisa melihatnya dari balik jendela kamarku.

“apa yang sebenarnya terjadi..? apa yang terjadi..?”
hatikupun mulai bertanya-tanya. Tak biasanya suasana seperti ini terasa di rumah ini. Rumah menjadi ramai. Kali ini bukan dengan rengekan dan teriakan Caroline, melainkan omongan-omongan warga yang tak terlalu terdengar jelas olehku.

“dug..dug..dug..!!”, terdengar langkah kaki menaiki tangga. Terasa ada seseorang yang sedang berusaha membuku pintu kamarku. Pintu terbuka. Di sana ada Bunda dan juga Caroline yang menatapku dengan mata sembam mereka. Sepertinya mereka baru saja menangis. Aku yang kali ini berani menatap mata mereka perlahan dapat merasakan kesedihan yang mereka alami dan mulai menangis tanpa tahu alasannya. Dari mata mereka aku dapat membaca raut kesedihan dan juga kemarahan. “marah..?” ya.. mereka terlihat marah dan kesal padaku. Apa kesalahanku yang membuat mereka marah..? entahlah..!!
Bunda mulai maju dan melangkahkan kakinya menuju ke arahku. Ia terlihat seperti monster yang hendak memakanku. Ia mulai menarik rambutku, menamparku, lalu mendorongku ke belakang hingga terbentur dinding di belakangku. Kemudian berbalik arah dan mengunciku kembali. Seperti itulah saat bunda menjadikanku pelampiasannya. Tak apa, Aku tetap menyayanginya.

Pada malam hari, untuk pertama kalinya Bunda mengajakku keluar dari kamar. Aku di tuntun perlahan menuruni tangga dengan kakiku yang kecil dan lemah. Ia memegang pundakku dengan halus. Hal inilah yang selama ini ku harapkan dari Bundaku yang sesungguhnya. Seakan tak percaya Bunda melakukannya. Aku benar-benar merasakan kebahagiaan yang sesungguhnya untuk pertama kali. Saat sampai di lantai bawah, para tetangga yang telah berkumpul memandang ke arahku dengan pandangan yang menurutku aneh. Tapi tak terlalu ku hiraukan. Di sana ada seseorang yang di baringkan dan di itari para tetangga. Caroline terlihat menangis di samping tubuh itu.

“ayah Caroline meninggal.. malam ini kita pergi ke pemakamannya.. dan kamu harus ikut..!!”, Bunda berbicara padaku dengan nada datar. Jujur, aku sedikit terkejut. Bagaimana dengan caroline yang selama ini selalu bermanja-manjaan dengan ayahnya.. mungkinkah ia sanggup…?

Waktunya tiba. Ayah Caroline harus segera di makamkan. Aku berjalan dituntun tertatih oleh seseorang yang tak ku kenal menuju lokasi makam yang katanya tak terlalu jauh dari rumah kami. Di depanku, Bunda memeluk erat Caroline. Jujur, aku merasa iri. Tapi tak apa lah.. Caroline sudah terbiasa di manja, sedangkan aku tak sekalipun. Di perjalanan aku melihat setangkai mawar merah yang sedang segar merekah. Aku ingin memilikinya. Aku menghentikan langkahku dan menoleh ke orang yang menuntunku.

“bisa tolong ambilkan mawar itu tuan..?”, kataku sambil menunjuk ke arah mawar tersebut. Ia hanya memandangku.

“baiklah..”, ia mengiyakan seraya tersenyum. Aku membalas senyumnya. Kemudian ia memetikkan setangkai mewar itu untukku.

“terima kasih tuan..”, kataku. Ia kembali menuntunku menuju ke pemakaman. Saat pemakaman berlangsung, aku merasakan sesuatu terjadi pada diriku. Badanku terasa menggigil. Dadaku terasa sesak dan sakit. Mataku mulai berkunang-kunang. Entah apa yang terjadi hingga akhirnya semua terasa gelap.


Saat aku terjaga, aku telah berada di sebuah kamar yang cukup luas dan bersih dengan dinding berwarna merah muda. Pandanganku masih kabur. Namun perlahan membaik. Tak ada orang lain di ruangan ini. Hanya ada aku. Aku melihat deretan boneka tertata rapi. Disana terdapat sebuah foto. Aku tak dapat melihatnya dengan jelas. Aku berusaha bangkit dan berjalan tertatih mendekati foto itu. Ternyata itu adalah foto Caroline bersama Bunda. Yaaa.. aku sedang berada di kamar Caroline.

“mawarku..”?, aku berbalik menuju ke ranjang tempatku terbaring barusan. Syukurlah.. mawarku masih ada. Aku ingin memberikan mawar ini untuk Bunda. Aku ingin menuliskan sesuatu untuk bunda. Setidaknya untuk menghapus sedikit kesedihannya. Tapi apa yang bisa ku tuliskan..? aku tak pernah sekalipun di ajarkan baca tulis. Aku tak mengerti cara menulis dan mengungkapkan isi hatiku.
Ah.. apapun laah.. aku ingin memberikan kado tak berharga ini untuk Bunda. Kembali aku merasakan kesakitan yang sangat mendalam. Entah karena apa. Aku terjatuh tersungkur di samping ranjang, tak kuat menahan beban tubuh kurusku sendiri. Mataku masih terbuka. Aku masih sadar, merintih menahan sakit. Sepertinya ada sesuatu yang mendorong-dorong keluar dari perutku. Rasanya mual. Akhirnya sesuatu itupun keluar. Sungguh menjijikan. Untuk pertama kalinya aku muntah darah. Darah merah kehitaman kental keluar dari tubuhku, mempermerah setangkai mawar yang mulai layu yang ada di genggamku. Awalnya lega rasanya. Namun tak lama, kesakitan yang lebih dahsyat menghantamku.

“Oh tuhan.. pertanda apakah ini..? apakah engkau akan mengambilku sekarang..? jika memang sekarang waktuku.. ijinkan aku memberikan kado terakhir ini untuk Bundaku Tuhan.. Aku sangat menyayanginya meskipun ia telah menjadikanku sia-sia. Ijinkan aku berbakti padanya ‘UNTUK TERAKHIR KALI’..”, Mungkin inilah harapan terakhirku. Saat mataku hendak terpejam, entah dari mana Bunda telah berada di depanku. Ia menggenggam erat tanganku. Aku tahu, tak akan ada bunda yang tega membiarkan anaknya kesakitan di ujung maut. Aku yakin, dari hatinya yang terdalam, walaupun itu hanya setitik.. ia masih mempunyai rasa sayang untukku, anaknya biarpun rasa sayang itu datang terlambat.. sangat terlambat.

“Ocha.. Bunda sayang sama kamu..”, kata sayang yang selama ini ku harap, kini terucap dari bibir Bunda. Kecupan di kening untuk pertama kali juga bunda berikan.

“Bunda.. maaf’in Ocha Bunda.. Selama ini Ocha selalu bikin bunda marah, kesal sama Ocha.. Ocha Cuma bisa kasih mawar layu ini untuk bunda”, kataku terbata, sembari menyodorkan mawar layu untuk bunda.
“Ocha pergi.. Bunda jangan nangis.. Ocha sayang sama bunda..juga semuanya.. selamat tinggal semuanya..”, hanya itu kata terakhir yang terucap dariku sebelum aku pergi. Disini, aku sangat berharap bunda akan menyimpan mawar layu dariku sebagai ungkapan rasa sayangnya untukku. Kini aku telah memenuhi keinginan adikku, Caroline, yaitu mati agar tak lagi mengganggunya dengan suara batukku.
#END#

Tidak ada komentar:

Posting Komentar